
Desa wisata di awal kelahirannya dapat dijelaskan sebagai sebuah gerakan guna lebih memaksimalkan sekaligus menjaga sumber daya yang ada di perdesaan agar lebih bermanfaat dan berkelanjutan melalui kegiatan kepariwisataan. Dipilihnya pariwisata dalam pengembangan wilayah perdesaan disebabkan pariwisata di desa diyakini mampu menggerakkan sektor lainnya.
Melalui pariwisata diharapkan mampu menciptakan sinergi antarlembaga dan komunitas yang ada di desa sehingga akan terjadi keseimbangan. Ibarat orchestra, semua memiliki peran, tetapi harus mampu menjaga ritme, kekompakan, mampu menahan diri, dan tahu kapan waktunya bermain dan kapan diam agar tercipta alunan musik yang indah.
Seiring berjalanya waktu, kini desa wisata telah tumbuh dan berkembang dengan berbagai model. Suatu hal yang menggembirakan tentunya. Namun, di sisi lain hal itu seringkali membuat kita mengabaikan tujuan awal pengembangan desa wisata. Bahkan, beberapa desa wisata terasa hambar dan tidak punya karakter DNA yang kuat karena telah kehilangan ruhnya.
Meniru tentu tidak salah, tetapi duplikasi tanpa melihat potensi diri tentu tidak hanya akan melukai diri sendiri, tetapi juga melukai yang diduplikasi. Pada akhirnya, akan terjadi persaingan yang tidak sehat atau bahkan hancur bersama-sama.
Diskusi Kupas Tuntas Desa Wisata #1 – “Synergize to Build Tourism Villages for Great Tourism Resources (Bersinergi Membangun Desa Wisata untuk Sumber Daya Pariwisata yang Unggul)”, dipersembahkan Himpunan Mahasiswa Pariwisata Indonesia bersama Desa Wisata Institute. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr. H. Sandiaga Salahudin Uno hadir secara daring memberikan penegasan bahwa dengan menjual keunikan dan kelokalan desa wisata akan mampu memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan.

Di era pariwisata yang mengedepankan kesehatan ini, desa wisata bisa menjadi penggerak bangkitnya pariwisata Indonesia. Ini terbukti pada tahun 2021 ada beberapa desa Indonesia yang masuk nominasi penghargaan Best Tourism Village yang diselenggarakan Organisasi Pariwisata Dunia. Desa Wisata Ngelanggeran, Gunungkidul berhasil meraih penghargaan tersebut.
Bukan itu saja, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terus mendorong tumbuhnya desa wisata yang berkualitas, salah satunya dengan penyelenggaraan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Tentu saja, keberhasilan, kemajuan, dan kemandirian desa wisata membutuhkan sinergitas yang baik antarsektor.
Di acara ini, Plt. Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kementrian Pariwisata RI, Dr. Frans Teguh, MA, mengingatkan desa wisata jangan over komersialisasi. Karena bila tidak hati-hati, maka pariwisata justru dapat mematikan pariwisata itu sendiri. Lebih lanjut, Dr. Frans Teguh, MA, mengatakan bahwa desa wisata harus dibangun berdasarkan karakter asli desa sehingga desanya akan mempunyai ciri khas daya tarik yang kuat dan berkelanjutan.

Ruh desa wisata adalah community based. Berbagai model yang ada, seperti BUMDes, Koperasi, dan lainnya tidak boleh menghilangkan kedaulatan komunitas. Komitmen untuk bersinergi menjadi kunci dalam memperbesar dan memperluas manfaat desa wisata, tetapi harus sama-sama mampu menahan diri untuk berperan sesuai dengan kompetensi dan kapasitasnya.
Tidak kalah pentingnya adalah kehadiran champion atau agen perubahan. Desa harus memberi ruang untuk membentuk orang-orang yang punya minat dan passion dalam membangun desanya. Banyaknya kepentingan yang hadir di desa wisata saat ini jangan dijadikan masalah, tetapi adalah tantangan untuk bersinergi, tegas Frans Teguh.
Sementara itu, Dr. Ani Wijayanti, MM, MM, CHE, selaku akademisi Universitas BSI (UBSI) Yogyakarta, mewakili Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (Hildiktipari) mengatakan banyak desa wisata yang belum menemukan DNA-nya dan cenderung menduplikasi desa lain. Hal ini disebabkan karena dalam pengembanganya, desa wisata masih kurang memperhatikan sektor-sektor lain sehingga terjadi ketimpangan dan kecemburuan.
Peran perguruan tinggi dengan adanya Program Kampus Merdeka sebenarnya mampu menjadi salah satu satu alternatif memecahkan masalah tersebut. Sinergi dapat diawali desa wisata dengan kampus. Dalam program Kampus Merdeka, banyak sekali bidang yang bisa dikerjakan bersama. Mahasiswa bisa menjadi salah satu agen perubahan ataupun mendorong sumber daya manusia di desa untuk menjadi champion di desanya.
Pahrul Azim, selaku pengelola Desa Wisata Hijau Bilebante telah membuktikan hal tersebut. Bermula dari sebuah gerakan sosial, Pahrul mendorong adanya komitmen bersama pemerintah desa dan masyarakat melalui pembuatan peraturan desa. Lewat modal komitmen, mereka mulai melakukan berbagai langkah untuk merealisasikan komitmen tersebut, sembari terus meningkatkan kompetensi SDM. Mereka sadar untuk tidak tergesa-gesa agar tercipta pondasi yang kuat.
Bilebante memerlukan waktu tiga tahun untuk kemudian mereka memantabkan diri sebagai desa wisata hijau (DWH). Pahrul menegaskan adanya sinergitas tiga lembaga di desa, mencakup Koperasi, Pokdarwis, dan BUMDes. Masing-masing lembaga tersebut mempunyai peran dan tanggungjawabnya sendiri-sendiri. Koperasi berperan untuk menyiapkan produk, Pokdarwis sebagai tim kreatif dan teknis, serta BUMDes sebagai penyedia modal (investor lokal). Lewat model sinergitas ini, kini Desa Wisata Balibante telah berkembang menjadi salah satu desa wisata unggulan di Indonesia.