Pentingnya Branding Destinas
Artikel

Pengaruh Citra Destinasi terhadap Tingkat Loyalitas Wisatawan

Mengenal citra destinasi dalam pariwisata  

Proses pengambilan keputusan wisatawan untuk berkunjung ke suatu destinasi wisata seringkali mempertimbangkan citra daerah tujuan wisata (Tseng et al., 2015); (Chen et al., 2016). Citra destinasi yang baik dapat menjadi salah satu faktor pendorong industri pariwisata.

Di sisi lain, citra yang positif dapat menjadi faktor kunci dalam keberlanjutan suatu destinasi, terutama dalam menghadapi persaingan global dan perubahan preferensi wisatawan. Begitu pula sebaliknya, citra destinasi yang kurang baik dapat menjadi salah satu faktor kemunduran bagi sebuah industri pariwisata (Indira, dkk., 2013:47).

Hanif, dkk (2016) menyatakan bahwa citra destinasi merupakan keyakinan atau pengetahuan yang dirasakan oleh wisatawan saat berkunjung ke suatu destinasi wisata. Citra destinasi tidak hanya dapat terbentuk pada wisatawan saja, tetapi juga terhadap calon wisatawan.

Menurut Hunt (1975:7), citra adalah sebuah impresi seseorang atau beberapa orang yang memberikan sebuah penggambaran tentang destinasi yang belum mereka datangi. Citra destinasi tidak hanya sekedar sebuah persepsi atribut destinasi, tetapi menjadi kesan yang holistik dari sebuah destinasi wisata, sehingga tidak hanya menitikberatkan pada satu aspek saja. Aspek yang dimaksudkan adalah aspek tangible sebagai atribut dalam bentuk fisik dan aspek intangible atau bukan atribut fisik (Echtner dan Ritchie, 2003:46).

Bagaimana citra destinasi dapat terbentuk? 

Citra destinasi memiliki tiga rangkaian komponen yang berbeda saat terjadi proses pembentukan didalamnya (Banyai, 2009:17-18). Ketiga komponen ini saling berkaitan dengan erat, sehingga selalu terhubung antara satu komponen dengan komponen lainnya.

Menurut Echtner dan Ricthie (1991), kerangka kerja citra destinasi meliputi: 1) Cognitive image, berhubungan dengan pengetahuan dan informasi wisatawan mengenai destinasi, seperti objek wisata, fasilitas, dan infrastruktur. 2) Affectice image, berhubungan dengan perasaan atau emosi yang dirasakan terhadap destinasi, seperti kesan keindahan, kenyamanan, atau keramahan masyarakat setempat. 3) Unique image, berhubungan dengan sebuah ciri khas yang dirasakan oleh wisatawan yang tidak didapatkan di destinasi lain.

Sedangkan menurut Gartner (1993), citra destinasi terdiri dari kognitif (pengetahuan tentang destinasi), afektif (emosi atau perasaan terhadap destinasi), dan konatif (intensi untuk berkunjung kembali atau merekomendasikan destinasi kepada orang lain).

Baca juga: Membangun Identitas Desa Wisata Melalui Branding

Citra destinasi juga dapat dibentuk melalui beberapa elemen, seperti cuaca, shopping, akomodasi, aktivitas (wisata), masyarakat lokal, norma/kebiasaan yang berlaku, pemandangan alam, makanan, harga, keberadaan wisatawan lain, kondisi sosial, politik, keamanan, kondisi jalan (tingkat kemacetan), keberadaan TIC (Mayo, 1975; Gartner, 1986; Echtner & Ritchie, 1991). Jika citra sebuah destinasi dapat terbentuk dengan baik, akan menghasilkan pengalaman yang berharga bagi wisatawan, sehingga wisatawan mencapai titik kepuasannya.

Coban (2012) menyatakan bahwa wisatawan yang mendapat citra positif dari suatu destinasi cenderung memiliki tingkat kepuasan yang baik dan wisatawan cenderung akan merekomendasikan destinasi terkait kepada orang lain, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa wisatawan memiliki minat untuk berkunjung kembali ke destinasi terkait.

Bekantan menjadi salah satu ikon Pulau Kalimantan. Bekantan juga menjadi maskot kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan sejak tahun 1990. (Dokumentasi: Hannif, 2018)

Apa yang terjadi jika sebuah destinasi memiliki citra yang baik?

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa citra destinasi yang positif meningkatkan kemungkinan kunjungan ulang dan rekomendasi dari wisatawan (Chen & Phou, 2013). Minat berkunjung ulang diambil dari teori minat beli ulang terhadap suatu produk, sehingga dalam beberapa kategori minat berkunjung dapat diaplikasikan terhadap minat beli.

Minat adalah dorongan untuk memotivasi seseorang melakukan tindakan (Setyo Putra, 2015: 3). Konsumen atau pelanggan yang puas akan melakukan kunjungan ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain atas jasa yang dirasakan (Fornell dalam Nuraeni, 2014: 4).

Minat kunjung ulang merupakan suatu bentuk kepuasan yang kemudian akan mendorong kunjungan selanjutnya yang kemudian akan membentuk rasa loyalitas terhadap diri konsumen. Kesesuaian akan kebutuhan dan penawaran produk akan menimbulkan kepuasan kepada konsumen. Oleh karena itu, akan menimbulkan minat beli ulang konsumen di waktu mendatang.

Minat kunjungan kembali wisatawan ke sebuah destinasi wisata yang dilakukan terus menerus dapat berujung loyalitas wisatawan terhadap loyalitas wisatawan. Loyalitas yaitu kesediaan konsumen untuk senantiasa menggunakan komoditas suatu perusahaan dalam jangka waktu panjang, bahkan menggunakannya secara eksklusif, merekomendasikan komoditas tersebut kepada orang lain (Lovelock et al., 2010).

Pada pariwisata, menggunakan komoditas dalam jangka panjang bahkan hingga merekomendasikan suatu destinasi kepada orang lain berkaitan dengan kunjungan kembali ke destinasi terkait. Artuğer et al. (2013) memaparkan terdapat dua faktor penentu yaitu, pertama, intention to revisit the destination yang berarti wisatawan menunjukkan bentuk loyalitas dengan minat tinggi berkunjung kembali ke destinasi terkait.

Kemudian yang kedua, say positive things about the destination and recommendations to others yang berarti wisatawan menunjukkan loyalitas dengan afirmasi positif terhadap orang lain mengenai destinasi terkait. Hal ini sejalan dengan Chi dan Qu (2008), yang menyebutkan bahwa loyalitas mengacu pada kunjungan kembali wisatawan ke suatu tujuan dan rekomendasi positif dari mulut ke mulut. 

Sebagai salah satu destinasi wisata paling terkenal di dunia, Bali telah berhasil membangun citra destinasi yang kuat melalui budaya, alam, dan keramahan penduduk lokal. Prayag & Ryan (2012) menunjukkan bahwa wisatawan yang memiliki pengalaman positif di Bali cenderung memiliki niat tinggi untuk kembali dan merekomendasikan destinasi ini kepada orang lain.

Branding Destinasi untuk Memikat Wisatawan
Bali sebagai salah satu destinasi dengan branding yang kuat. (Dokumentasi: Hannif, 2025)

Faktor-faktor seperti budaya yang unik, keberlanjutan lingkungan, dan kualitas layanan telah menjadi daya tarik utama dalam mempertahankan loyalitas wisatawan. Dengan kata lain, Bali berhasil dalam membangun citra destinasi yang baik, tidak hanya di kancah nasional, tetapi juga hingga internasional.

Citra destinasi memainkan peran penting dalam membentuk loyalitas wisatawan dalam industri pariwisata. Destinasi yang memiliki citra positif cenderung meningkatkan kepuasan wisatawan, membangun keterikatan emosional, meningkatkan kepercayaan, dan mendorong komunikasi positif dari wisatawan. Dengan strategi pemasaran yang tepat dan pengelolaan destinasi yang berkelanjutan, loyalitas wisatawan dapat diwujudkan, sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi industri pariwisata.

Ditulis oleh:
Dewi Masyifa Antaningrum
Mahasiswa Program Magang MBKM UGM Batch III

Penyunting:
Hannif Andy Al Anshori

Referensi : 

  • Ab., A. (2018). Pengaruh Citra Destinasi Terhadap Intensi Wisatawan Berkunjung Kembali di Destinasi Sulawesi Selatan Tahun 2024. Sosiohumaniora – Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora 20 (3), 207-214.
  • Banyai , M. (2009). The Image of Tourism Destinations. Waterloo, Canada
  • Chen, C. C., Lai, Y. H., Petrick, J. F., & Lin, Y. H. (2016). Tourism between divided nations: An examination of stereotyping on destination image. Tourism Management 55 (8), 25–36. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2016.01.012
  • Chi, C. G.-Q., & Qu, H. (2008). Examining the structural relationships of destination image, tourist satisfaction and destination loyalty: An integrated approach. Tourism Management  29 (4), 624–636.
  • Coban, S. (2012). The effects of the image of destination on tourist satisfaction and loyalty the case of Cappadocia. European Journal of Social Sciences 29 (2), 222-232.
  • Echtner, C. M., & Ritchie, J. R. B. (1991). The meaning and measurement of destination image. Journal of Tourism Studies, 2(2), 2-12.
  • Echtner, C.M. & Ritchie, J.R.B. (2003). The Meaning and Measurement of Tourism Destination Image. The Journal of Tourism Studies 14 (1), 37- 48.
  • Fahmi, M., Gultom, D. K., Siregar, Q. R., & Daulay, R. (2022). Wisatawan, Citra Destinasi dan Pengalaman Destinasi Terhadap Loyalitas: Peran Mediasi Kepuasan. Jurnal Ilmiah Manajemen 23 (1), 58-71.
  • Fatimah, S. (2019). Analisis Pengaruh Citra Destinasi dan Lokasi Terhadap Minat Berkunjung Kembali. Majalah Ilmiah Bahari Jogja 17 (2), 27-40.
  • Gartner, W. C. (1993). Image formation process. Journal of Travel & Tourism Marketing, 2 (2-3), 191-216.
  • Hanif A., Kusumawati A., Mawardi M.K. (2016). Pengaruh Citra Destinasi Terhadap 
  • Kepuasan Wisatawan Serta Dampaknya Terhadap Loyalitas Wisatawan (Studi pada Wisatawan Nusantara yang Berkunjung ke Kota Batu). Jurnal Administrasi Bisnis 38 (1), 44-52.
  • Hunt, J.D. (1975). Image as a Factor in Tourism Development. Journal of Travel Research, 13 (3), 1–7.
  • Indira, D., Ismanto, S.U. & Santoso, M.B. (2013). Pencitraan Bandung Sebagai Daerah Tujuan Wisata: Model Menemukenali Ikon Bandung Masa Kini. Sosiohumaniora 15 (1), 45-54.  
  • Lovelock, et al. 2010. Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi. Edisi Ketujuh. Diterjemahkan oleh Dian Wulandari dan Devri Barnadi Putera. Jakarta: Erlangga. 
  • Prayag, G., & Ryan, C. (2012). Antecedents of tourists’ loyalty to Mauritius. Journal of Travel Research 51 (3), 342-356.
  • Safitasari, C., & Maftukhah, I. (2017). Pengaruh Kualitas Layanan, Promosi dan Citra Destinasi Terhadap Kepuasan Melalui Keputusan Pengunjung. Management Analysis Journal 6 (3), 310-319.
  • Tseng, C., Wu, B., Morrison, A. M., Zhang, J., & Chen, Y. C. (2015). Travel blogs on China as a destination image formation agent: A qualitative analysis using Leximancer. Tourism Management 46 (2), 347–358.

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.