
Pada Kamis, 09 Desember 2021, BPO Labuan Bajo Flores menggelar webinar desa wisata dengan topik “Membangun Desa Wisata Melalui Branding di Era 4.0”. Rangkaian webinar yang rutin diselenggarakan setiap bulan ini merupakan acara penutup di tahun 2021 yang diikuti oleh masyarakat umum, perangkat desa, pegiat desa wisata, serta pengelola desa wisata di 11 kabupaten yang tergabung dalam kawasan Floratama.
Di seri webinar yang keenam ini, BPO Labuan Bajo Flores mengundang dua narasumber, yakni Sugeng Handoko selaku pengelola Desa Wisata Nglanggeran dan Hannif Andy Al Anshori selaku founder Desa Wisata Institute. Dalam webinar yang berlangsung selama dua jam ini, peserta diajak untuk memahami bagaimana membangun konsep dan menyusun strategi branding dengan mengedepankan keunikan dan karakteristik desa wisata.
“Selamat buat Mas Sugeng Handoko yang desa wisatanya baru saja mendapatkan penghargaan sebagai desa wisata terbaik dari UNWTO. Ini menjadi momentum yang tepat untuk kita semua supaya bisa belajar dan berbagi langsung bersama Mas Sugeng,” ajak Shana Fatina selaku Direktur BPOLBF saat membuka acara webinar.
Menurutnya, keberhasilan Desa Wisata Nglanggeran hingga mendapatkan pengakuan dari badan organisasi pariwisata dunia, termasuk juga menjadi Desa Wisata Mandiri Inspiratif dalam ajang ADWI 2021 adalah hasil dari proses panjang yang sudah dilalui masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan potensi secara berkelanjutan.

Di kesempatan yang sama, Shana Fatina pun sangat mengapresiasi kegiatan survei yang dilaksanakan oleh Desa Wisata Institute pada pertengahan 2020 lalu. Menurutnya, survei tersebut sangat membantu pihak BPOLBF dalam membuat kebijakan dan program pemulihan sektor pariwisata, khususnya desa wisata selama masa pandemi Covid-19.
Pada sesi pertama, Hannif menyampaikan bahwa sering terjadi kekeliruan dalam memaknai Marketing 4.0. Menurutnya, Marketing 4.0 bukanlah konsep pemasaran yang sepenuhnya bergantung pada teknologi dan internet. Dalam pengaplikasiannya, Marketing 4.0 adalah konsep yang mempertemukan strategi pemasaran online dan offline. Dengan begitu, apa yang dilihat oleh konsumen di dunia digital haruslah sama dengan apa yang dirasakannya langsung saat di lapangan.
“Walaupun branding identitas kita secara digital berhasil, tetapi produk dan layanan yang ada di lapangan rusak, artinya branding kita gagal atau tidak berkelanjutan,” ungkap Hanif.
Sebelum melakukan branding melalui internet, Hanif pun mengajak supaya desa wisata yang ada di kawasan Floratama sudah memiliki sosial media Google Bisnisku. Berangkat dari sosial media gratis itulah, pihak pengelola bisa menganalisa pasar dan performa wisatawan yang pernah berkunjung ke desa wisata.
“Seringkali kami temui, banyak desa wisata yang belum memiliki database wisatawan yang lengkap. Padahal, ini bagian dari Branding 4.0. Sejauh ini, kita hanya mencatat jumlah wisatawan. Sementara asal daerah, usia, dan profesi mereka belum kita catat. Untuk itu, cobalah direncanakan dari sekarang. Kalau bisa, catat pengeluaran atau belanja mereka selama berwisata di desa wisata. Ini bisa menjadi data yang akan sangat membantu kita untuk melangkah dan membuat program di masa mendatang,” tambahnya.

Sugeng Handoko pun sependapat dengan apa yang disampaikan Hanif. Dalam slide presentasinya, ia turut menayangkan performa sosial media yang digunakan dalam branding, termasuk juga Google Bisnisku.
“Seperti yang disampaikan Mas Hanif, kami di Nglanggeran juga menggunakan Google Bisnisku. Di sini, kami bisa mengetahui berapa jumlah orang yang meminta petunjuk jalan ke desa wisata kami. Bahkan, setiap objek wisata yang kami kelola memiliki akun Google Bisnisku. Lewat tools gratis ini, kami bisa melihat berapa lama mereka berwisata, baik hitungan menit maupun jam,” jelas Sugeng Handoko.
Ia pun juga mengungkapkan, bahwa salah satu strategi yang digunakan oleh Desa Wisata Nglanggeran untuk memperkuat brand-nya adalah dengan cara menjadikan wisatawan sebagai penjual.
“Ibarat jualan kecap, semua produsen akan bilang kecapnya paling enak, paling manis. Nah, tapi konsumen susah untuk yakin. Kecuali yang mengatakan itu adalah temannya atau paling tidak pernah memakai kecap itu. Hal inilah yang kami gunakan di Nglanggeran. Bagaimana caranya supaya orang-orang yang pernah berkunjung ke tempat kami, kemudian mengulas dan mempromosikannya lewat sosial media pribadi mereka secara sukarela. Untuk itu, supaya ini bisa terjadi, produk dan layanan di desa wisata harus benar-benar membuat mereka terkesan”, jelas Sugeng Handoko.

Selain membuat Google Bisnisku, terdapat beberapa strategi Branding 4.0 yang menurut Hannif sangat penting untuk diterapkan. Salah satunya adalah menggunggah konten di media sosial yang harus bervariasi. Setidaknya, penggunaan sosial media di desa wisata harus menerapkan rumus 4M, yaitu Menghibur, Mengedukasi, Menginspirasi, dan Meyakinkan.
Di samping itu, terdapat enam poin strategi branding yang menurut Hannif dapat diterapkan oleh desa wisata. Pertama, dengar apa yang wisatawan butuhkan, suka, dan tidak suka. Hal ini dapat diketahui dengan mudah melalui akun Google Bisnisku. Kedua, menyampaikan value yang tidak terlihat, seperti kualitas pelayanan, keramah tamahan, kearifan lokal, dan sebagainya. Ketiga, read the future need. Artinya, cari tahu apa yang menjadi tren sekarang dan masa depan. Keempat, open mutual communication. Artinya, kolaborasi menjadi kunci keberhasilan dalam branding desa wisata. Kelima, hadirkan kesan yang positif baik di dunia digital maupun lapangan. Keenam, setiap pencapaian desa wisata harus dipamerkan untuk menambah nilai dari brand.
Sementara itu, Sugeng Handoko menegaskan, bahwa akan lebih baik jika dalam proses pengembangan desa wisata indikator keberhasilannya bukan hanya pada ekonomi semata. Namun, harus diarahkan agar alam dan budaya yang ada di desa terus lestari. Dari sisi kelembagaan, Sugeng menyebutkan bahwa membangun komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak di daerah, termasuk pemerintah desa juga harus dilakukan.
“Kami selalu mengupayakan supaya pengembangan yang berasal buttom-up dan top-down memiliki titik temu. Misal gagasan hanya terjadi dalam pola top-down, itu kurang baik bagi kami karena nantinya masyarakat hanya menjadi penonton. Begitu pula sebaliknya. Kalau hanya buttom-up, sementara tidak ada support dari pemerintah, kami juga sulit untuk maju,” jelas Sugeng.

Luarbiasa Upaya2 yang dilakukan dalam pengembangan desa wisata saat ini.