Pendampingan Desa Wisata Hannif Andy Al Anshori
Artikel

Penguatan Tata Kelola Kelembagaan di Desa Wisata Bugisan, Klaten

Desa wisata merupakan salah satu bentuk pengembangan ekonomi berbasis komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan potensi lokal, baik dari aspek budaya, alam, maupun sosial ekonomi (Suansri, 2013). Konsep desa wisata telah diterapkan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi tergantung pada regulasi, kapasitas kelembagaan, serta keterlibatan masyarakat dalam pengelolaannya (Ashley & Roe, 2002).

Salah satu desa wisata dengan klasifikasi mandiri di Jawa Tengah adalah Desa Wisata Bugisan, yang memiliki daya tarik budaya yang kaya, termasuk keberadaan Candi Plaosan yang menarik minat wisatawan. Nama Desa Wisata Bugisan makin sohor setelah meraih juara nasional dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) pada tahun 2022.

Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan, tantangan utama yang dihadapi Desa Wisata Bugisan adalah adanya leakage (kebocoran). Kondisi ini disebabkan karena belum tersedianya kebijakan yang mengatur model tata kelola di level pemerintah desa dan pengelola desa wisata. Akibatnya, terdapat ulah pelaku wisata dari luar yang ikut menjual potensi desa wisata tanpa melibatkan pengelola resmi dan mengantongi izin pemerintah desa. Fenomena ini tidak hanya dapat berpotensi konflik, tetapi juga menghambat pengembangan infrastruktur dan fasilitas wisata yang seharusnya dapat meningkatkan pengalaman berwisata serta kesejahteraan masyarakat lokal (Rifdah & Kusdiwanggo, 2024).

Dalam beberapa penelitian, disebutkan juga bahwa pengelolaan pariwisata berbasis komunitas memerlukan kelembagaan yang kuat agar manfaat ekonomi dapat didistribusikan secara adil kepada seluruh masyarakat desa (Syarifah & Rochani, 2022). Untuk itu, dalam konteks Desa Wisata Bugisan, penguatan kelembagaan menjadi fokus utama untuk memastikan manfaat ekonomi dapat dikelola secara bijak dan berdampak terhadap pembangunan desa secara berkelanjutan.

Tulisan ini dipublikasikan sebagai bentuk berbagi pengalaman tim Desa Wisata Institute dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di Desa Wisata Bugisan, Kabupaten Klaten. Selain membahas dan mengesahkan Peraturan Desa yang mengatur pengelolaan dan pengembangan desa wisata, Desa Wisata Institute yang dimentori Hannif Andy Al Anshori memberikan pendampingan lain berupa penguatan kelembagaan.

Perdes: Bentuk Komitmen Pemerintah Desa Dalam Pengelolaan dan Pengembangan Desa Wisata

Dorongan dari Desa Wisata Institute dalam memperkuat tata kelola Desa Wisata Bugisan berhasil membahas dan mengesahkan Peraturan Desa Bugisan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Desa Wisata. Pembahasan dan pendampingan yang berjalan hingga empat bulan ini menunjukkan wujud komitmen Pemeritahan Desa Bugisan dalam mengimplementasikan seluruh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten.

Jika dilihat dari potensinya, Desa Wisata Bugisan dikelilingi oleh daya tarik sejarah dan budaya dengan lingkungan perdesaan yang masih asri. Dengan demikian, Perdes ini dapat menjadi alat untuk memastikan bahwa setiap kegiatan kepariwisataan tidak merugikan lingkungan, budaya, atau keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat.

Kondisi lain yang menyebabkan munculnya Perdes ini adalah adanya leakage (kebocoran) di desa wisata. Dalam beberapa kasus misalnya, masuknya oknum (pelaku bisnis) yang menjual paket di desa wisata tanpa adanya diskusi dan izin menyebabkan sebagian masyarakat merasa dirugikan, bahkan berujung pada konflik. Lemahnya pengawasan terhadap skema izin dan masuknya wisatawan yang dibawa oleh pelaku wisata dari luar juga sulit dikendalikan oleh Pokdarwis yang merasa kurang kuat di mata hukum.

Lantas, bagaimana Desa Wisata Institute melihat permasalahan tersebut?

Dalam kegiatan pendampingan Kampanye Sadar Wisata 5.0 di Desa Wisata Bugisan, Hannif Andy Al Anshori melihat bahwa kondisi tersebut bisa saja berpotensi terjadi di tempat lain. Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi jangka pendek adalah menyusun etika berwisata (code of conduct), yang dibarengi dengan komitmen pemerintah dalam merumuskan kebijakan.

Selain pembahasan Perdes, tim Desa Wisata Institute yang difasilitasi oleh Adya Danastri dan Alfi Turni Aji turut membantu masyarakat dalam menyusun beberapa instrumen. Beberapa di antaranya adalah standar operasional prosedur, penguatan struktur kelembagaan pengelola desa wisata, dan AD/ART kelembagaan. Penyusunan SOP ditujukan untuk memperjelas mekanisme kerja sama antara pemerintah desa, BUMDES, pengelola desa wisata, dan Kelompok Sadar Wisata.

Di samping itu, SOP juga menjadi panduan menjalankan mekanisme pelayanan wisatawan, pencatatan transaksi keuangan, serta pelaporan keuangan yang dilakukan secara berkala. Dengan adanya SOP yang jelas, diharapkan pengelola Desa Wisata Bugisan dapat menjalankan tata kelola kepariwisataan secara bertanggung jawab dan profesional.

Di waktu yang berbeda, tim Desa Wisata Institute juga membantu dalam proses penyusunan AD/ART pengelola desa wisata. Instrumen administrasi kelembagaan ini disusun guna mengatur tugas dan tanggung jawab pengurus, tata cara menjalankan organisasi yang menjadi mitra dari BUMDES Bugisan, atau urusan rumah tangga lainnya.

Tata kelola yang baik adalah yang menempatkan manfaat berkelanjutan sebagai pondasinya

Peran local champion dalam pengelolaan desa wisata nyatanya menjadi faktor penting dalam memastikan keberlanjutan regulasi yang diterapkan. Local champion, yang merupakan tokoh masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan desa wisata dapat berperan sebagai penghubung antara pemerintah desa, pengelola, dan masyarakat. Mereka juga dapat mendorong pembangunan desa, memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai Sapta Pesona, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang telah disusun dijalankan dengan baik oleh semua pihak.

Dari perjalanan pendampingan di atas, kita dapat memetik banyak hikmah, bahwa dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat harus dibarengi dengan komitmen yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat. Meletakkan prinsip partisipatif, kepemilikan lokal, berwawasan lingkungan, dan manfaat yang berkelanjutan menjadi modal utama dalam membuat pondasi tata kelola yang bertanggung jawab.

Melalui proses implementasi kebijakan yang menyeluruh ini, siapapun dapat menjalankan prinsip-prinsip good governance dalam setiap aspek pengelolaan kepariwisataan. Harapannya, kebijakan pembangunan di Desa Wisata Bugisan ini dapat memberikan contoh positif bagi destinasi lainnya. Bahwa dalam mengembangkan desa wisata, dibutuhkan pola pikir dan konsep model tata kelola yang membawa dampak positif secara menyeluruh.

Ditulis oleh:
Alfi Turni Aji
Mahasiswa Program Magang MBKM UGM Batch III

Penyunting:
Hannif Andy Al Anshori

Pendampingan Desa WIsata Bugisan

Referensi:

  • Potjana, Suansri, 2003, Community Based Tourism Handbook, Thailand, Responsible Ecological Social Tour-REST, Mild Publishing.
  • Ashley, C., & Roe, D. 1998. Enhancing community involvement in wildlife tourism: Issues and challenges.
  • Rifdah, B. N., & Kusdiwanggo, S. (2024). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata di Indonesia: Tinjauan Literatur Sistematis. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 13(2), 75-85.
  • Syarifah, R., & Rochani, A. (2022). Studi literatur: Pengembangan desa wisata melalui Community Based Tourism untuk kesejahteraan masyarakat. Jurnal Kajian Ruang, 1(1), 109-129.

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.